Senin, 22 Juni 2015

Materi Dakwah Gus Ja'far Mukhibin


MENELADANI AKHLAQ AS-SALAFUSH- SHOLIH


Saudaraku rohimaniyallohu wa iyyakum. Dalam rubrik percikan Iman kali ini kita akan mempelajari bersama tentang Meneladani Akhlaq As-Salafush-Sholih.
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ , dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang keimanan. ” (Hadits riwayat Al-Imam Al-Bukhori dan Muslim dari Abu Huroirairoh رضي الله عنه , dan ini lafazh Muslim).
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Alloh di mana saja engkau berada. Dan ikutilah perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang baik. ”(Hadits riwayat Al-Imam At-Tirmidzi dari Abu Dzar رضي الله عنه ).
Ibnu Rojab al-Hanbali رحمه الله تعالى mengatakan, “Rosululloh صلى الله عليه وسلم menyebutkan perintah berakhlak secara terpisah, dikarenakan kebanyakan orang mengira bahwa ketakwaan itu hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Alloh سبحانه وتعالى dan tidak berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…” “Dan orang yang menunaikan hak-hak Alloh تعالى sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi dan orang-orang yang shidiq (benar) …” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 237)
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh رضي الله عنه , beliau رضي الله عنه berkata:Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga. Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Takwa kepada Alloh dan akhlaq mulia. ” Beliau صلى الله عليه وسلم juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau صلى الله عليه وسلمmenjawab, “Mulut dan kemaluan. ” (Hadits riwayat Al-Imam Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi رحمه الله تعالى membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush Sholihin yang berjudul Bab Husnul Khuluq(Akhlaq mulia). Maksud penyusunan bab ini oleh beliau رحمه الله تعالىialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini beliau رحمه الله تعالى juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara hamba-hamba Alloh عزوجل yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia kepada Alloh سبحانه وتعالى dan berakhlaq mulia kepada hamba-hamba Alloh تعالى .
Berakhlaq mulia kepada Alloh سبحانه وتعالى yaitu senantiasa ridho terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Alloh تعالى mentaqdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim, maka hendaknya dia ridho terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya: رضيت بالله ربًّأ(rodhiitu billaahi Robban) ‘Aku ridho Allohsebagai Robb’. Apabila Alloh سبحانه وتعالى menetapkan keputusan hukum syar’i kepadanya maka, dia menerimanya dengan ridho dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan syari’at Alloh عزوجل Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna berakhlak mulia terhadap Alloh عزوجل .
Saudaraku yang budiman. Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini:
Yang pertama: كَفُّ اْلأذى (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya. Kemudian yang kedua: بَذْلُ النَّدَى (memberikan kebaikan yang dimiliki): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya. Dan yang ketiga:طَلَقَةُ الوَجْهِ (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi. Inilah husnul khuluq.
Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk juga husnul khuluq . Bahkan jika seorang muslim mengharapkan pahala dari Alloh سبحانه وتعالى atas kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Alloh سبحانه وتعالى .
Nah saudaraku yang budiman, bagaimanakah berakhlak mulia kepada sesama? Di dalam sebuah ayat Alloh telah menghimpun beberapa kunci pokok, untuk bisa meraih akhlak yang mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya, niscaya akan merasakan kenikmatan buahnya. Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. ”(Surat al-A’roofayat 199)
Saudaraku yang budiman. Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq (akhlaq yang mulia)kepada sesama serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah dan pergaulan hidup mereka. Alloh عزوجل memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal:Pertama: Menjadi pema’af. Kemudian kedua: Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf. Dan yang ketiga adalah:Berpaling dari orang-orang yang bodoh.
Pengertian pema’af di sini luas. Pemaaf mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga dia tidak membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan mereka. Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi (berhubungan)dengan semuanya dengan lemah lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat sesuai situasi dan kondisi yang ada.
Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh. Saudaraku yang budiman, hendaknya kita bersikap baik kepada orang lain dengan mengajarkan ilmu yang kita miliki, menganjurkan kebaikan,menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua,mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu,memberikan bantuan dalam kebaikan dan ketakwaan, menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah (dunia).
Adapun yang dimaksud dengan “Berpaling dari orang-orang yang bodoh” yaitu tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan mereka. Jika mereka mengusik kita dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh maka hendaknya kita menyingkir. Kita tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka juga.Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan kita, maka hendaknya kta sambung hubungan dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi kita, maka hendaknya kita berbuat adil kepadanya. Dengan cara inilah kita akan memperoleh limpahan pahala dari Alloh عزوجل , hati menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan cara ini juga, dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman.
Demikianlah pertemuan kita kali ini. والله ولي التوفيق . نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَرْزُقَنَاوَإِيَّاكُمْ الْعِلْمَ النَّافِعَ وَالْعَمَلَ الصَّالِحَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Dikutip Dari:
materidakwahislam.blogspot.com/

Selasa, 16 Juni 2015

Biografi Gus Ja'far Mukhibin

Nama saya Gus Ja’far Mukhibin, lahir di Demak, Jawa Tengah, pada 25 Februari 1994. Saya adalah anak pertama dari pasangan Abdul Ghofur Hajar Mukti dan Sunariyah. Dari hasil orang tua kami, dikaruniai dua orang putra yaitu saya sendiri Gus Ja’far Mukhibin dan adik saya Adip Saputra.





Masa kecil saya dilalui bersama saudara saya di desa Tegalarum, Mranggen Demak. Saya punya prinsip mempunyai keyakinan saya sendiri. Saya masih belajar untuk menggunakan akal dan pikiran untuk dapat melihat dari apa yang ada. Saya sekolah mulai TK, SD, MTS dan tamat MAF-1 di Mranggen Demak. Kondisi saya sekarang ini, saya berstatus mahasiswa Fakultas Agama Islam di Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Sabtu, 06 Juni 2015

Makalah Ulumul Qur'an Gus Ja'far Mukhibin

NASAKH MANSUKH DALAM
AL – QUR’AN


 Disusun Oleh :
Gus Jafar Mukhibin / 31501402054





PRODI TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN AGUNG ( UNISSULA)
SEMARANG

Jl. Kaligawe Km.4 Semarang



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb


Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat  menyelesaikan  makalah ini tanpa suatu halangan apapun.



Shalawat serta salam kita haturkan kepangkuan Nabi Agung Muhammad SAW yang mana kalau tidak diciptakanya beliau maka kita dan semua mahluk bumi dan langit seiisinya tidak diciptakan, serta beliulah satu-satunya Nabi yang bisa mensyafaati kita di yaumil kiyamah nanti.

Makalah ini menyajikan serta membahas hal-hal yang berkaitan dengan Ulumul Qur’an, khususnya materi tentang“ NASAKH DAN MANSUKH”dalam semester dua
Tujuan pembuatan makalah ini untuk menambah wawasan pembaca dan sebagai tugas kelompok dalam mata pelajaran Ulumul Qur’an.

Dalam penyusunan makalah ini, kami sangat menyadari atas keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami  miliki, sehingga masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam pembuatannya. Karenanya, penulis  memohon maaf dan  mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Akhir kata kami ucapkan terima kasih.


Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Semarang, Maret 2015.

Penulis,
Gus Ja'far Mukhibin


DAFTAR ISI

HALAMAN COVER..................................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh dan Mansukh......................................................................................
B. Pendapat Para Ulama’ Tentang Nasakh dan Mansukh..................................................
C. Metode untuk Mengetahui Nasakh dan Mansukh...........................................................
D. Rukun dan Syarat Nasakh.................................................................................................
E. Macam-Macam Nasakh dalam Al-Qur’an......................................................................
F. Hikmah dan Faedah Nasakh dan Mansukh.....................................................................

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................
B. SARAN DAN KRITIK...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................



BAB I
PENDAHULUAN
  1. A.    Latar Belakang

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayang Nya kepada seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendak Nya, yang Besar dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai Nya.
            Shalawat dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk hamba-hamba Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk umat yang durhaka. Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
            Perjalanan waktu mengiringi perkembangan alam dan manusia yang menyebabkan berbagai macam keragaman, baik suku, bangsa, bahasa, kebiasaan atau adat, kebutuhan, dan lain sebagainya. Sedangkan Alquran telah menjelaskan bahwa islam adalah agama bagi semesta alam. Artinya islam bersifat global yang berisi aturan dan pedoman untuk makhluk di seluruh alam semesta. Kebutuhan manusia di tempat yang berbeda mesti berbeda pula. Adat di suatu tempat belum tentu sama dengan adat di tempat lain. Begitu juga manusia zaman dahulu mesti memiliki kebutuhan dan adat yang berbeda dengan manusia saat ini. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapus suatu hukum dengan hukum lain untuk menjaga kepentingan para hamba Nya berdasarkan pengetahuan Nya tentang yang pertama dan terakhir.
            Sesuai dengan sedikit penjelasan di atas, pada makalah ini kami akan mengangkat salah satu bab dalam ulumul qur’an yaitu nasikh dan mansukh dengan beberapa sub babnya. Pada tema ini kami akan menjelaskan beberapa sub bab, yaitu pengertian nasakh, syarat-syarat adanya nasakh, perbedaan nasakh dan takhshish, dan pemahaman terhadap perbedaan pendapat tentang ayat Alquran yang mansukh. Tentunya kami tidak hanya terpaku dengan sub bab yang telah ditentukan, dengan harapan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih kepada para pembaca mengenai bab ini.
                                                                                                            Semarang, Maret 2015


                                                                                                            Penulis 
 B.     Rumusan Masalah


1.      Apa Yang Dimaksud Dengan Nasakh Dan Mansukh?
2.      Bagaimana Pendapat Para Ulama Tentang Nasakh Mansukh ?
3.      Bagaimana Cara Mengetahui Nasakh Mansukh ?
4.      Apa Rukun-Rukun Dan Syarat –Syarat Nasakh?
5.      Apa Macam – Macam Nasakh Dalam Al- Qur’an ?
6.      Apa Hikmah Dan Faedah Adanya Nasakh ?


BAB II
PEMBAHASAN

 A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh

Secara bahasa (etimologi) nasakh berasal dari kata نسخ – ينسخ – نسخ yang memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut:
1.   Nasakh berarti izalah (menghilangkan), contohnya ونسخت الريح اثر المشيartinya, angin menghilangkan jejak perjalanan.
2.   Nasakh berarti memindahkan atau menukilkan dari suatu tempat ketempat lain, contohnya:
 . إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Kami memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran. {al Jasiyah (45):29}.
3.   Nasakh berarti tabdil (mengganti atau menukar), contohnya:
. وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ   
Dan apabila kami mengganti atau menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain.{an Nahl (16): 101}
4.     Nasakh berarti tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
Sedangkan nasakh secara istilah (terminologi) memiliki pengertian yang beragam, para ulama pun memiliki definisi yang berbeda-beda walaupun maksudnya hampir sama, diantaranya ada yang mendefinisikan penghapusan hukum syara dengan khitab syara dan ada pula yang mendifinisikan, penghapusan hukum syara dengan dalil syara yang lain. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasakh hingga mencakup:
1.    Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.    Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3.    Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
4.    Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.

Az-Zarqani yang dapat dikatakan mewakili kalangan ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an, memformulasikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i berdasarkan dalil syar’i. Sementara Abu Zahrah, yang mereferensikan kalangan ulama ushul fiqh, mendefinisikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i oleh syari’ (Allah SWT) dengan dalil yang datang kemudian.
Jadi, nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya ialah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’i yang datang kemudian. Hukum syar’i yang menghapuskan atau membatalkan lazim disebut dengan istilah nasikh; sementara hukum syar’i yang dihapus atau dibatalkan disebut mansukh.
Sebagai contoh, sebelum turun ayat dalam surat al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan kiblat shalat ke arah Ka’bah Baitullah di Masjidil Haram, kiblat kaum muslimin adalah menghadap ke arah Masjidil Aqsha, tetapi setelah turun ayat yang memerintahkan arah kiblat ke Masjidil Haram, maka nabi Muhammad beserta umatnya beralih arah kiblatnya ke Masjidil Haram. Dari kasus ini dapat dikemukakan bahwa menghadap kiblat ke Masjidil Haram adalah nasikh, sedangkan menghadap ke Masjidil Aqsha adalah mansukh.
Pembahasan mengenai nasakh, selain dibahas dalam ulumul qur’an juga dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dan pengertian nasakh menurut para ahli ilmu ushul adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’i dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja, baik pembatalan secara umum ataupun pembatalan secara kandungannya saja karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya. Atau nasakh adalah menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.
Demikian berbagai pengertian yang diungkapkan para ulama, baik ulama ulumul qur’an ataupun ulama ahli ushul tentang nasakh. Dan dari berbagai pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ yang terlebih dahulu datang dengan dalil hukum syara’ lain yang datang kemudian. Nasakh merupakan istilah untuk dua hal, yaitu nasikh dan mansukh seperti dalam tata Bahasa Arab istilah idhofah untuk dua hal, yaitu mudhof dan mudhofun ilaih. Nasikh adalah dalil atau hukum yang menghapus dalil atau hukum lain. Sedangkan mansukh adalah dalil atau hukum yang dihapus atau diangkat.
Adanya nasakh sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama, itu berdasarkan firman Allah, yaitu:
. مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannyaTiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? {al Baqarah (2):106}.
Di dalam tafsir al Misbah, dijelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, yang berbicara tentang orang orang Yahudi. Demikian erat hubungan maknanya, sampai sampai awalnya tidak dibubuhi huruf waw (dan) seperti yang biasa menghiasi ayat ayat lain saat berpindah dari suatu persoalan ke persoalan lain.
Seperti terbaca pada ayat ayat yang lalu, banyak orang Yahudi yang enggan menerima ayat suci Alquran serta berkeberatan terhadap Allah yang menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, mereka selalu berusaha mencari celah untuk membuktikan kelemahan Alquran. Mereka berdalih bahwa Allah tidak mungkin mengubah ketetapan ketetapan Nya. Pengubahan menjadikan syariat agama mereka tidak berlaku lagi bila mereka mengakui agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. pengubahan juga dapat berarti bahwa Tuhan tadinya tidak tahu, dan bila mengubahnya pastilah ada sesuatu yang baru Tuhan ketahui.
Allah membantah mereka dengan menyatakan: “Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, baik dengan membatalkan hukumnya atau pun mengalihkannya, atau Kami menagguhkanhukum pelaksanaan nya kecuali Kami datang yang lebih baik darinya atau sebanding dengannya seperi pembatalan kehalalan pengucapan “raa’ina” terhadap Nabi Muhammad saw. dengan kata “unzhurna”. Tiadakah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tiadakah engkau, wahai pendengar ayat ini, mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah sehingga Dia dapat melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksaan Nya? Dan tidak pulakah engkau mengetahui bahwa tiada bagimu selain Allah satu pelindung maupun satu penolong”.
Kata (نسخnaskh mempunyai banyak arti, antara lain membatalkan, mengganti, mengubah, menyalin, dan lain sebagainya. Dari segi hubungan antar ayat, kita dapat mengatakan bahwa larangan mengucapkan raa’ina dan mengganti dengan unzhurna, seperti tuntunan ayat yang lalu, merupakan salah satu bentuk penggantian dan pembatalan, paling tidak, dari tinjauan kebahasaan. Karena itu, wajar jika ayat ini berbicara tentang penggantian dan pembatalan itu.
Ayat ini ditutup dengan satu pernyataan yang redaksinya terbaca seakan akan ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi pada hakekatnya ditujukan kepada orang Yahudi dan siapa punn yang merasa keberatan dengan kebijaksanaan Allah itu, Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu?.
Redaksi semacam ini mengandung kecaman yang lebih pedas daripada yang redaksinya ditujukan langsung kepada yang dimaksud. Kecaman yang sama berlanjut pada ayat berikutnya, yaitu Tidakkah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah?Dia mengatur, mengendalikan, dan melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksanaan Nya.
Dan tiada bagimu selain Allah pelindung dan pembimbing dalam kehidupan spiritual dan material maupun satu penolong yang dapat memberi pertolongan menghadapi kesulitan apapun.

Selanjutnya, uraian tentang pengertian naskh ini dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu berikut ini.
1.      Gambaran tentang terangkatnya hukum syari’at tidak mungkin terlaksana kecuali dengan dua jalan:
a. Bahwa dalil syar’i mempunyai tenggang waktu dengan hukum marfu’.
b.Bahwa antara dua dalil ini terjadi ta’arudh hakiki sehingga tidak mungkin melakukan kompromi (al-jam’) antara keduanya.
2.      Defenisi tersebut memberi pengertian bahwa naskh tidak tertuju kepada hukum. Dengan demikian, sekalipun ada pembagian naskh tilawah dan hukum hanya sekedar untuk memberi penjelasan tentang naskh itu. Yang disebut naskh tilawah itu sesungguhnya tidak keluar naskh hukum karena naskh tilawah itu tidak mempunyai arti hakikat kecuali menasakhkan hukum juga.
3.      Naskh yang terjadi mencakup dalam Al-Qur’an dan As Sunnah semuanya yaitu: qauliyah, fi’liyah, wasfiyah dan tadriyah, karena semuanya bersumber dari wahyu Allah SWT. dengan demikian, tidak mungkin timbul dari ibtida’ dan naskh kecuali berdasarkan wahyu Allah SWT. baik yang sharih maupun taqrir.
4.      Bahwa idhafah dalam raf’ al-hukm asy-syar’i adalah idhafah masdar kepada maf’ul sedang fa’ilnyatersembunyi, yaitu Allah SWT. dengan demikian, pengertian sesungguhnya dari nasikh itu adalah Allah SWT.

B.     Pendapat Para Ulama dengan adanya Nasakh dan Mansukh


Para ulama bersepakat bahwa nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan nash Al-Qur’an. Begitu juga dengan nash Sunnah boleh dinasakh dengan nash Sunnah.
Sebagian ulama yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an, dilihat dari sisi nasikh-mansukh, surat-surat Al-Qur’an dapat dibedakan kedalam empat kelompok besar. Pertama, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya 43 surat. Kedua, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah, sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang memprakirakan lebih sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat al-Baqarah (2): 180 dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33): 52 dengan al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh internal Al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat yang oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Syaikh Muhammad Al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak kemungkinan ada nasikh-mansukh internal Al-Qur’an telah mencoba mengompromikan 20-21 ayat yang oleh Al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas menolak ada kemungkinan ada nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an oleh ayat-ayat Al-Qur’an sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan atau penaqyidan.
Masing-masing pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat di bawah ini

مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ
أَنَّاللَّهَعَلَىكُلِّشَيْءٍقَدِير
Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106). 

وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya:Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101). 

Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an, sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya. Maka Allah turunkan ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).

Adapun ulama yang menerima adanya nasikh dan mansukh:
1.      Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengakui adanya naskh dalam Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah: 106,
ماننسخمنايةاوننسهاناتبخيرمنهااومثلهاالمتعلماناللهعليكلشيءقدير.
Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2.      Ibnu katsir
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa“Sesungguhnya rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh (pembatalan) dalam hukum-hukum Allah, karena Allah mentepkan hukum menurut kehendak Nya dan melakukan apa saja yang dikehendaki Nya.
3.      Al-Maragi
Al-Maragi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah keberadaan naskh dalam Al-Qur’an dengan menyatakan,“Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena berbeda waktu dan tempat, Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu adanya hukum itu, kemudian keprluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi jauh lebih baik dari yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”
4.      Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan:”Sesungguhnya hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain, maka adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.”
5.      Sayyid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan terhadap pendirian orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan hukum-hukum Nya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi dan kondisi mereka yang berkembang yang baru.
6.      Manna Khalil Al-Kattan
Manna Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri` pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada periode yang lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hambaNya.
Sedangkan tokoh yang menolak adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an:
1.      Abu Muslim al-Asfahani (tokoh mu`tazilah)
2.      Imam Ar-Razi
3.      Muhammad Abduh
4.      Dr. Taufiq Sidqi
5.      Muhammad Khudari Bek
6.      Muhammad Abduh
Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an yang sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung naskh, dengan perbedaan penafsiran. Adapun alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut:
1.      Kandungan surat al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok pendukung naskh dijadikan sebagai argumentasi adanya naskh dalam al-Qur`an, menurut mereka ditujukan kepada kaum Yahudi yang mengingkari al-Qur`an atau merujuk pada wahyu yang diturunkan sebelum al-Qur`an yang akhirnya digantikan oleh al-Qur`an . Artinya hukum-hukum yang terdapat dalam kitab kitab suci sebelum al-Qur`an diganti dengan yang lebih baik , ayitu al-Qur`an. Kandungan surat an-Nahl ayat : 101 dilihat dari segi turunnya ditujukan kepada orang orang kafir yang tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW karena hukum hukum yang ada di dalam al-Qur`an berlainan dengan hukum hukum dalam Taurat dan Injil. Menurut mereka kalau al-Qur`an benar benar datang dari Allah SWT, maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab kitab sebelumnya. Untuk itulah Allah SWT menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang maslahat buat hamba-hambaNya.
2.      Jika dalam al-Qur`an ada ayat yang dimansukh, berarti didalam al-Qur`an terdapat kesalahan dan saling berlawanan , padahal al-Qur`an sendiri telah menegaskan:
Artinya ”Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS.Fush-shilat / 41: 42)
3.      Rasulullah sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh dalam al-Qur`an. Seandainya ada, sudah tentu ia akan menjelaskannya.
4.      Hadits – hadits yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an, seperti hadits ”Tidak ada wasiat bagi penerima waris” (HR.Bukhari , Abu Daud , Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin Hanbal) bukanlah hadits mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan hadits ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan hukum sesuatu.
5.      Dikalangan pendukung naskh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat ayat yang mansukh. Misalnya , menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh, asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 8 ayat dari 20 ayat yang oleh asy-Syuyuti tidak dikompromikan. Ini tidak berarti ada sebagian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan oleh ulama lain. Karena itu kelompok penolak adanya naskh membuktikan kemampuan mereka dalam mengkompromikan ayat ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif.
Abu Muslim al-Asyfahani, menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas kotradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan proyek takhsissebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh.“Tidak datang kepadanya kebatilan al-Qur’an baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. al-Fushilat : 42). Artinya, jika sekiranya didalam al-Qur’an terdapat ketentuan yang telah di-nasakh, maka sebagian hukum ayat al-Qur’an juga akan dibatalkan. Sementara syari’at dalam al-Qur’an itu bersifat kekal. Karena ia berlaku sepanjang masa.
Fakhru al-razi dan Muhammad ‘Abduh, juga termasuk yang memandang bahwa istilah Nasikh-Mansukh tidak terdapat dalam al-Qur’an. Alasan mereka disandarkan pada ayat al-Qur’an “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat–Nya”. (QS. al-Kahfi : 27). Hanya kemudian, Muhammad ‘Abduh menggunakan istilah tabdil,penggantian, pengalihan, atau pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh dalam pengertian pembatalan.
Sementara itu, sebagaian Ulama’ berkeyakinan bahwa didalam al-Qur’an terdapat pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat “dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami angkat ia, lalu Kami turunkan lainnya”. Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya sebagai “Allah menurunkan perkara dalam al-Qur’an kemudian mengangkatnya”.
Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya. Hal ini, pula ditegaskan oleh Quraish Shihab, bahwa Allah tidak me-nasakh dalam arti membatalkan suatu hukum yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain yang lebih baik atau serupa.
Berbeda dengan yang lain, al-Ṭabaṭaba’i mengatakan bahwa pertentangan antara dua naṣ dalam nāsakh pada dasarnya merupakan pertentangan lahir, bukan pertentangan yang hakiki (esensi). Alasan al-Ṭabaṭaba’i ini didasarkan pada al-Qur’an Surat al-Nisa ; 82. Ia menegaskan Nasakhpada dasarnya bukan termasuk (yang terjadi karena) pertentangan dalam perkataan (qawl), dan ia juga tidak (terjadi karena) pertentangan (ikhtilaf) dalam pandangan hukum, melainkan terjadi karena pertentangan dalam muṣadaq(kriteria) dari segi dapat diterapkannya hukum pada suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari yang lain karena bergantinya kemashlahatan dari kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum yang lain pula”. Oleh karena itu, al-Ṭabaṭaba’i beranggapan bahwa nasakh pada dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada hukum-hukum syari’at, melainkan juga dapat terjadi terhadap takwiniyyah(persoalan-persoalan kosmo).

Para ulama dalam menanggapi hal tersebut terbagi atas empat golongan :
1.      Orang Yahudi. Mareka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurut mereka naskh mengandung konsep al-bada’, yakni kelihatan setelah tidak tampak (tidak jelas) dan hal ini mustahil bagi Tuhan.
2.      Orang Si’ah Rafidah, Mereka terlalu over dalam menetapkan nasakh dan memberikan pemahaman terlalu luas tanpa ada batasan. Bahan rujukan dari argumentasi mereka adalah ungkapan yang dinisbahkan kepada ‘Ali r.a secara dusta dan palsu. Mereka juga berpegang pada firman Allah Q.S al-Ra'd, ayat 39, yakni :

يَمْحُوااللَّهُمَايَشَاءُوَيُثْبِتُوَعِنْدَهُأُمُّالْكِتَاب
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat ummu al-kitab (lawh mahfuz)
3.      Abu Muslim al-As fahani, Secara logika beliau menerima nasakh tetapi dalam syara' tidak. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’an  berdasarkan firman-Nya dalam Q.S Fussilat ayat 42, yakni:

لَايَأْتِيهِالْبَاطِلُمِنْبَيْنِيَدَيْهِوَلَامِنْخَلْفِهِتَنْزِيلٌمِنْحَكِيمٍحَمِيد
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
4.      Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi dalam hukum-hukum syara’.

Di antara tokoh yang menolak adanya nāsakh adalah ‘Ali bin Husain bin Muhammad yang dikenal dengan nama Ibnu Farj al-Asfahani yang menegaskan bahwa al-Qur’an tidak sedikitpun tersentuh oleh pembatalan, jika nasakhitu diartikan dengan pembatalan maka jelas tidak ada dalam al-Qur’an. Adapun dalil-dalil yang dijadikan bahan rujukan dalam al-Qur’an diperlukan adanyareinterpretasi, sebab didalamnya terkandung berbagai konotasi dan dalil-dalil tersebut bisa saja dita’wil sesuai konteks ayat-ayat sesudah dan sebelumnya.
Sedangkan Muhammad Abduh sedikit berbeda dalam memahami naskh, yaitu dengan memberikan pemahaman tabdil (penggantian) dan tahwil (mengubah) serta al-Naql(memindahkan). Hal ini sesuai dengan pengertian naskhsecara etimologi. Atas dasar inilah al-Asfahanī lebih suka menyebut naskh dengan istilah takhsis (pengkhususan) meskipun ulama pendukung naskh tidak menyetujuinya
Berbeda dengan mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama lain yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Menurut al-Wahidi perihal kalam Allah dalam ayat 106 surah al-Baqarah ini, para ahli tafsir berpendapat bahwasanya orang-orang musyrik pernah menyindir Nabi Muhammad seraya mereka berkata dengan sesamanya: “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana Muhammad yang (pada suatu ketika) menyuruh sahabat-sahabatnya supaya melakukan sesuatu, tetapi kemudian setelah itu dia melarang mereka dari mengerjakannya dan memerintahkan mereka dengan (pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini Muhammad bilang begini, sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu) kalau kita katakan bahwa al-Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah ucapan Muhammad yang ia karang-karang dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang saling bertentangan antara sebagian dengan sebagian yang lain”. Kemudian Allah menurunkan kedua ayat tersebut.
Berlainan dengan kelompok pertama, kelompok kedua yang mengingkari kemungkinan adanya nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih mengacu kepada korelasi ayat, dalam kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat sebelumnya yakni ayat 105. Ayat 105 surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan ketidaksenangan atau ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad. Padahal, seharusnya orang-orang kafir itu tahu diri bahwa penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad itu seperti halnya penurunan kitab-kitab dan pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak prerogatif yang tidak perlu dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun.

  1. C.    Metode untuk Mengetahui Nasakh dan Mansukh


Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutam fuqaha, mufassir, ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak perkataan sahabat atau tabi’in yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1.        Keterangan tegas dari Nabi dan sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan bahwa ayat ini dinasakhkan oleh ayat itu.
2.        Menetapkan kemansukhan sesuatu ayat apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang lain yang tidak dapat dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.
3.        Kesepakatan ulama bahwa ayat ini nasikh dan ayat ini mansukh.
4.    Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah
Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua rawi.


D.    Rukun dan Syarat Nasakh


Adapun rukun-rukun dan syarat-syarat nasakh yang di maksud adalah sebagai berikut:
1.      Adanya mansukh (ayat yang terhapus)  yang  terikat atau tidak di batasi dengan waktu tertentu.sebab,bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut.karena itu,maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan nasakh.disamping itu,mansukh (ayat yang di hapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashsi,dan ayat yang di mansukh itu lebih dahulu di turunkan daripada  ayat yang nasikh(menghapus).
Dalam hubungan ini,Abu Muhammad al-Makki menandaskan ,bahwa khithab yang mengisyaratkan adanya batas waktu tertentu tidak bisa dikatakan dapat dihapus ,sebagaimana firman Allah:
فاعفواواصفحواحتىياتياللهعلىكلشيءقدير
...maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahnya.sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Ayat tersebut menurut al-makki tidaklah mansukh,sebab berlakunya dikaitkan dengan bataswaktu.sedangkan apa yang dikaitkan dengan batas waktu  ada nasakhdi dalamnya.
2.      Adanya mansukh bih(ayat yang digunakan untuk menghapus),dengan syarat ,datangnya dari syari (Allah) atau dari rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah.sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma(konsesus)ataupun qias(anologi).
3.      Adanya nasikh (yang berhak menghapus),yaitu Allah .kadang-kadang ketentuan hukum yang di hapus itu berupa al-quran dan kadang-kadang berupa sunnah.
4.      Adanya mansukh anhu(arah hukum yang dihapusitu ialah orang-orang yang sudah akil-baligh atau mukallaf),karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.
 Sedang Abd.Azhim al-Zarqani mengemukakan ,bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila:
1.      Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang,dan tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2.      Ketentuan hukum syara yang berlaku(menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara yang diangkat atau dihapus.
3.      Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu di turunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.
Selain syarat-syarat diatas ,terdapat juga syarat-syarat yang lain seperti :
Dari uraian mengenai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menasakh terdapat beberapa syarat sebagai berikut:
1.        Nasakh hanya terjadi pada dalil-dalil yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Perintah dan larangan tersebut dapat berupa kalimat perintah dan kalimat perintah yang tegas dan jelas menunjukan perintah dan larangan dan bisa juga berupa kata atau kalimat lain. Karena banyak redaksi yang menunjukan makna perintah dan larangan. Diantara redaksi yang menunjukan perintah adalah sebagai berikut:
a.         Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan seakar dengannya. Contohnya: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ  
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. {al Nahl (16): 90}
b.         Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu dihajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب). Contohnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. {al Baqarah(2): 183}
c.         Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Contohnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. {al Baqarah(2): 228}
d.        Perintah dengan memekai kata kerja secara langsung (fi’il amr). Contohnya:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. {al Baqarah(2): 238}
e.         Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai lam amr. Contohnya: ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). {al Hajj(22): 29}
f.          Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض). Contohnya:
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. {al Ahzab(33): 50}
g.         Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik. Contohnya:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. {al Baqarah(2): 220}
h.       Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Contohnya: مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak{al Baqarah(2): 245}[8]
Sedangkan redaksi yang menunjukan larangan adalah sebagai berikut:
a.         Larangan secara tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Contohnya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. {al Nahl(16): 90}
b.         Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Contohnya:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi. {al A’raf(7): 33}
c.        Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal untuk dilakukan. Contohnya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. {al Nisa’(4): 19}
d.        Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam yang menunjukan larangan (لام النهى).
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. {al An’am(6): 152}
e.         Larangan dengan menggunakan kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan. Contohnya:
وَذَرُوا ظَاهِرَ الإثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi{al An’am(6):120}
f.          Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan yang pedih. Contohnya: وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. {al Taubah(9):34}
g.         Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Contohnya:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. {ali Imran(3):180}
h.         Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Contohnya:
إِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim. {al Baqarah(2): 193}
2.        Dalil yang dinasakh tidak berkaitan dengan akidah dan tauhid, karena ajaran semua agama samawi mengenai akidah dan tauhid itu sama dan tidak mengalami perubahan sampai akhir zaman.
3.        Dalil yang menunjukkan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu datang secara terpisah dan datang terkemudian dari dalil yang dinasakhkan.
4.        Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
5.        Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
6.        Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah,
. فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ
maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahNya {al Baqarah (2):109}
adalah muhkam, tidak mansukh sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada nash di dalamnya.

  1. E.     Macam – Macam Nasakh Dalam Al- Qur’an


Adapun macam-macam nasakh yang terjadi dalam Al-Qur’an  ada 3 macam,sebagai berikut:

1.      Menasakh bacaan ayat dan hukumnya sekaligus (Naskhut Tilaawati).yaitu,menghapus kan bacaan ayat dan hukum isinya sekali,sehingga bacaan ayatnya sudah tidak ada dan bahkan tulisan lafal ayatnya pun sudah tidak ada pula,dan hukum ajarannya pun telah dihapus dan diganti dengan ketentuan lain.
2.      Menasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya (Naskhul Hukmi Duunat Tilawaati),yakni tulisan dan bacaan ayatnya masih tetap ada dan masih boleh dubaca,tetapi isi hukum ajarannya sudah di nasakhkan ,sehingga sudah tidak boleh diamalkan lagi.

    Dengan turunnya ayat 234 surah sl-baqarah ini,maka ayat 240 al-baqarah yang tulisan dan bacaannya masih tetap ada itu,hukumn isinya yaitu idah satu tahun bagi wanita yang di cerai mati itu sudah tidaj berlaku lagi,sudah dihapus dan diganti dengan idah 4 bulan 10 hari.
      Dr.Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits fi ulumul Qur’anmenganggap aneh ada nasakh macam kedua ini,Beliau mempertanyakan,apa hikmahnya menghapus hukum sedang bacaannya tidak?    Lalu prof.Manna’ul Qathtan menjawab,sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya untuk diamalkan,juga dibaca karena Al-Qur’an itu firman Allah SWT,sehinggayanh membaca akan mendapat pahala.
2.      Nasakh it pada umumnya untuk memberi keringan.karena itu,tidak dinasakhnya bacaan ayat itu untuk mengingat kan nikmat Allah yang memperingan hukuman itu.

3.      Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya(Naskhut Tilaawati Duunal Hukmi)yaitu:tulisan ayatnya sudah dihapus,sehingga sudah tidak dapat di baca lagi,tetapi hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan.
Dalam versi lain Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasakh dalam al-Qur’an    terbagi empat macam yaitu:
1.      Nasakh sarih, ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya atau berubahnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat shalat, dimana pada awalnya menghadap ke baital maqdis dan pada akhirnya diubah menghadap ke Ka’bah. (QS. 2:150).
2.      Nasakh Dimni (implisit), yaitu jika terdapat dua teks yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui bahwa turunnya tidak sekaligus pada waktu tertentu, maka ayat yang datang kemudian mengganti ayat yang terdahulu. Mislanya QS: 2:234 tentang iddah isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari, ayat tersebut menaskh QS: 2:240 tentang wasiat suami terhadap isteri, bahwa ia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.
3.      Nasakh Kulli, yaitu penggantian atau pembatalan terhadap teks hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat (QS: 2:180) oleh ayat mawarith (QS: 4:11-14).
4.      Nasakh Juz'i, yaitu penggantian atau pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu . Contoh hukum delapan puluh kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi.
والذينيرمونالمحصنتثملميأتوابأربعةشهداءفاجلدوهمثمنينولاتقبلوالهمشهادةأبداوأولئكهمالفاسقون.
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka  buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ketentuan ini diganti dengan ketentuan li'anyaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh. Akan tetapi bentuk-bentuk contoh ini kalau ditelaah lebih mendalam bukanlah nasakh dalam arti yang sebenarnya, namun lebih cenderung terhadap bentuk takhsis atau taqyid. Sebagaimana bentuknya:
والذينيرمونأزواجهمولميكنلهمشهداءالاانفسهمفشهادةأحدهمأربعشهادتباللهإنهلمنالصدقين.
 Dan orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
Sedangkan dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasakh kepada tiga macam, yaitu :
1.        Nasakh terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, riwayat al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadis ‘A’ishah r.a yang mengatakan :
((كانفيماأنزلعشررضعاتمعلوماتيحرمنفنسخنبخمسمعلومات)). فتوفيرسولاللهصلىاللهعليهوسلم ((وهنممايقرأمنالقرآن)).
Sebagaimana yang diturunkan (ayat al-Qur’an) kepadanya adalah sepuluh rada'at (isapan menyusui) yang diketahui, kemudian di nasakh dengan lima (isapan menyusui) yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk sebagian dari al-Qur’an yang dibaca.
2.        Nasakh terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. semisal ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrik pada umat Islam untuk saling bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh ketentuan ayat qital. Akan tetapi bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat al-Kafirun:6, sebagaimana berikut :
لكمدينكموليدين
Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku

3.          Nasakh terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku

Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nas, para ulama membagi nāsakh ke dalam empat macam yaitu :
a)    Nāsakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Nāsakhseperti ini ulama sepakat akan kebolehannya. 
b)  Nāsakh al-Qur’an dengan al-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasakh semacam ini diperbolehkan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashur. 
c)  Nāsakh al-Sunnah dengan al-Qur’an. Menurut ahli usul, nāsakh semacam ini betul-betul terjadi seperti peralihan kiblat dalam salat dari Bait al-Muqaddas ke Ka'bah.
Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah. Bagi al-Qattan pada dasarnya ketentuan nasakh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan. Fokus pembahasan ini ialah mengenai Naskh al-Hukm Dun al-Tilawah, yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum dari satu ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses al-Nuzul-nya.
Naṣiruddin Baidan mengutip pendapatnya Abu Zahra, memberikan syarat bagi nas yang dapat dinasakh danmansukh yaitu antara lain :
a.         Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b.        Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’ ayat 59: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c.         Dalil atau ayat yang di mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d.        Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan.

  1. F.     Hikmah dan Faedah Nasakh dan Mansukh


 Adanya nasakh dalam dalil-dalil, baik Alquran maupun hadits tentu memiliki beberapa hikmah bagi seluruh umat manusia yang memiliki budaya, adat, kebiasaan yang berbeda di wilayah yang berebeda dan bahkan zaman yang berbeda pula. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Memelihara kemaslahatan hamba.    
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri. 
 3.   Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus. 
4.  Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.

Adapun manfaat yang lain yang bisa dipetik yaitu:
a.         Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
b.      Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
c.       Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
d.      Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e.       Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
f.       Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.


BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Dengan berdasarkan pemaparan diatas dapat diberikan kesimpulan yaitu bahwa :
Nasakh secara etimologi adalah izalat(menghilangkan), tabdil (menukar), tahwil (mengubah) danal-Naql (memindahkan), Sedangkan secara terminologi adalah menghapus, mengganti, serta membatalkan hukum syara dengan dalil hukum yang lain yang lebih kuat.
Sedangkan metode untuk mengetahui nasakh dan mansukh antara lain :
a) keterangan tegas dari nabi, 
b) kesepakatan ulama tentang ayat ini nasakhdan yang lainnya mansukh
c.) mengetahui mana yang lebih dahulu turun dalam perspektif historiy.
Dilihat dari segi ragam nāsakh terbagi atas sarih,zimni, kulli dan juz’i. Dalam bentuknya nāskh terbagi tiga, yakni hukum dan bacaan secara bersamaan, hukumnya saja serta bacaanya saja. Jenis nāskh secara terperinci, yakni al-Qur’an dengan al-Qur’a>n, al-Qur’an dengan al-sunnah, al-sunnah dengan al-Qur’an dan al-sunnah dengan al-sunnah.Sedangkan Para ulama dalam menanggapi permasalan nāskh, ada yg menerima ada yg menolan dan ada yg memperincinya.
Kemudian Hikmah dan Faedah Nasakh dan Mansukh antara lain :
1. Memelihara kemaslahatan hamba.
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, seiring dengan                  perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.  Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada           ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika                 ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi           umat.



B.     SARAN DAN KRITIK

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya bagi bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak atsar (perkataan sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui ayat yang posisinya sebagai nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu dan datang kemudian.
Demikian makalah ini kami buat,apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan maupun dalam penulisan kami mohon maaf.kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadi kan apa yang kami buat ini lebih baik dimasa mendatang.Dan kepada para pendengar makalah ini di harapkan untuk lebih banyak mencari sumber refrensi lainnya terkait judul makalah kami, karena sesungguhnya isi makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi. Mesir: Al-Halabi, 1946. Vol.1
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Riyad: Manshurat al-‘As}r al-                       Hadith, 1973.
Al-Zarqani, Muhammad Abd Azim, Manahil al-‘Irfan fi ‘ulum al-Qur’an. Libanon: Dar al-                 Kutub al-Qutaybah, tt. Vol.1.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Zain, Muhammad Jamil, Kayfa Nafham al-Qur’an terj. Salafuddin A.J, Bagaimana                             Memahami al-Qur’an Pustaka al-Kauthar.
Anwar, Abu, ‘Ulum al-Qur'an Sebuah Pengantar, Amzah, 2005.
Ash-Shidieqy, Hasbi, Ilm-ilmu Al-Qur’an Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-                         Qur’an Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an Bandung: Mizan, 1993.        
Baidan, Nashiruddin, Ulum Qur’an Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Dr. Usman, M.Ag. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Drs. Anwar Rosihon, M.Ag.2000. Ulumul Qur’an.Bandung: Cv Pustaka Setia.
Qothan al-manna 1973,mabahits fi ulum al-Qur’an
Beirut:al-syarikah al-Muttahidah li al-Tauzi
Shalih al-shubhi 1972  Mabahits fi’ulum al-Qur’an
Beirut Dar Al-ilmu Li-al-malayn
Zarganiy al-Muhammad Abdul Azhim manahil
Al-irfan fi ulum al-Qur’an,t,t.p,.al-habi al-nalab,t.th.
Usman,2009,ulumul qur’an yogyakarta,Teras
Hermawan,Acep,2011,ulumul qur’an,Bandung:Remaja Rosdokarya







.