AL – QUR’AN
Disusun Oleh :
Gus Jafar Mukhibin / 31501402054
PRODI TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SULTAN AGUNG ( UNISSULA)
SEMARANG
Jl. Kaligawe
Km.4 Semarang
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan apapun.
Shalawat serta salam kita haturkan kepangkuan Nabi Agung
Muhammad SAW yang mana kalau tidak diciptakanya beliau maka kita dan semua
mahluk bumi dan langit seiisinya tidak diciptakan, serta beliulah satu-satunya
Nabi yang bisa mensyafaati kita di yaumil kiyamah nanti.
Makalah ini menyajikan serta membahas hal-hal yang berkaitan
dengan Ulumul Qur’an, khususnya materi tentang“ NASAKH DAN MANSUKH”dalam
semester dua
Tujuan pembuatan makalah ini untuk menambah wawasan pembaca
dan sebagai tugas kelompok dalam mata pelajaran Ulumul Qur’an.
Dalam penyusunan makalah ini, kami sangat menyadari atas
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki, sehingga masih banyak terdapat
kekurangan dan kelemahan dalam pembuatannya. Karenanya, penulis memohon maaf dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Semarang, Maret 2015.
Penulis,
Gus Ja'far Mukhibin
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER..................................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh dan Mansukh......................................................................................
B. Pendapat Para Ulama’ Tentang Nasakh dan Mansukh..................................................
C. Metode untuk Mengetahui Nasakh dan Mansukh...........................................................
D. Rukun dan Syarat Nasakh.................................................................................................
E. Macam-Macam Nasakh dalam Al-Qur’an......................................................................
F. Hikmah dan Faedah Nasakh dan Mansukh.....................................................................
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN.......................................................................................................................
B. SARAN DAN KRITIK...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Segala puji bagi Allah
Tuhan semesta alam, yang telah mencurahkan rahmat dan kasih sayang Nya kepada
seluruh manusia. Tuhan yang memperbuat apa saja yang dikehendak Nya, yang Besar
dan Tinggi, yang Tunggal, dan tidak sesuatu pun yang menyerupai Nya.
Shalawat
dan Salam dimohonkan untuk penghulu kita, Imam sekalian Rasul, Nabi yang paling
akhir yang diutus Tuhan untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira untuk
hamba-hamba Nya yang saleh dan membawa kabar duka untuk umat yang durhaka.
Rasul yang memanggil umat ke jalan Allah dan menjadi pelita bagi seluruh
manusia di kegelapan zaman, yaitu Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Perjalanan
waktu mengiringi perkembangan alam dan manusia yang menyebabkan berbagai macam
keragaman, baik suku, bangsa, bahasa, kebiasaan atau adat, kebutuhan, dan lain
sebagainya. Sedangkan Alquran telah menjelaskan bahwa islam adalah agama
bagi semesta alam. Artinya islam bersifat global yang berisi aturan dan pedoman
untuk makhluk di seluruh alam semesta. Kebutuhan manusia di tempat yang berbeda
mesti berbeda pula. Adat di suatu tempat belum tentu sama dengan adat di tempat
lain. Begitu juga manusia zaman dahulu mesti memiliki kebutuhan dan adat yang
berbeda dengan manusia saat ini. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah menghapus
suatu hukum dengan hukum lain untuk menjaga kepentingan para hamba Nya
berdasarkan pengetahuan Nya tentang yang pertama dan terakhir.
Sesuai
dengan sedikit penjelasan di atas, pada makalah ini kami akan mengangkat salah
satu bab dalam ulumul qur’an yaitu nasikh dan mansukh dengan
beberapa sub babnya. Pada tema ini kami akan menjelaskan beberapa sub bab,
yaitu pengertian nasakh, syarat-syarat adanya nasakh, perbedaan nasakh dan
takhshish, dan pemahaman terhadap perbedaan pendapat tentang ayat Alquran yang
mansukh. Tentunya kami tidak hanya terpaku dengan sub bab yang telah
ditentukan, dengan harapan makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
kepada para pembaca mengenai bab ini.
Semarang,
Maret 2015
Penulis
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Yang
Dimaksud Dengan Nasakh Dan Mansukh?
2.
Bagaimana
Pendapat Para Ulama Tentang Nasakh Mansukh ?
3.
Bagaimana
Cara Mengetahui Nasakh Mansukh ?
4.
Apa
Rukun-Rukun Dan Syarat –Syarat Nasakh?
5.
Apa Macam
– Macam Nasakh Dalam Al- Qur’an ?
6.
Apa
Hikmah Dan Faedah Adanya Nasakh ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Secara bahasa (etimologi) nasakh berasal
dari kata نسخ – ينسخ – نسخ yang memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut:
1.
Nasakh berarti izalah (menghilangkan),
contohnya ونسخت الريح اثر المشيartinya, angin menghilangkan
jejak perjalanan.
2.
Nasakh berarti memindahkan atau menukilkan dari suatu
tempat ketempat lain, contohnya:
. إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ
مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Kami memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran. {al
Jasiyah (45):29}.
3.
Nasakh berarti tabdil (mengganti atau
menukar), contohnya:
. وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
Dan apabila kami mengganti atau menukar sesuatu ayat
di tempat suatu ayat yang lain.{an Nahl (16): 101}
4.
Nasakh
berarti tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari
seseorang kepada orang lain.
Sedangkan nasakh secara istilah (terminologi)
memiliki pengertian yang beragam, para ulama pun memiliki definisi yang
berbeda-beda walaupun maksudnya hampir sama, diantaranya ada yang
mendefinisikan penghapusan hukum syara dengan khitab syara dan ada pula yang
mendifinisikan, penghapusan hukum syara dengan dalil syara yang lain.
Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasakh hingga
mencakup:
1.
Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.
2.
Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
spesifik yang datang kemudian.
3.
Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat
ambigius.
4.
Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna
membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum
terdahulu.
Az-Zarqani yang dapat dikatakan mewakili kalangan ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an,
memformulasikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i berdasarkan dalil
syar’i. Sementara Abu Zahrah, yang mereferensikan kalangan ulama ushul fiqh,
mendefinisikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i oleh syari’ (Allah SWT)
dengan dalil yang datang kemudian.
Jadi, nasakh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya ialah
proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian
digantikan dengan hukum syar’i yang datang kemudian. Hukum syar’i yang
menghapuskan atau membatalkan lazim disebut dengan istilah nasikh; sementara
hukum syar’i yang dihapus atau dibatalkan disebut mansukh.
Sebagai contoh, sebelum turun ayat dalam surat al-Baqarah ayat 144 yang
memerintahkan kiblat shalat ke arah Ka’bah Baitullah di Masjidil Haram, kiblat
kaum muslimin adalah menghadap ke arah Masjidil Aqsha, tetapi setelah turun
ayat yang memerintahkan arah kiblat ke Masjidil Haram, maka nabi Muhammad
beserta umatnya beralih arah kiblatnya ke Masjidil Haram. Dari kasus ini dapat
dikemukakan bahwa menghadap kiblat ke Masjidil Haram adalah nasikh, sedangkan
menghadap ke Masjidil Aqsha adalah mansukh.
Pembahasan mengenai nasakh, selain
dibahas dalam ulumul qur’an juga dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Dan pengertian
nasakh menurut para ahli ilmu ushul adalah pembatalan pemberlakuan hukum syar’i
dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang
menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau secara kandungannya
saja, baik pembatalan secara umum ataupun pembatalan secara kandungannya saja
karena suatu kemaslahatan yang menghendakinya. Atau nasakh adalah menyatakan
dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil yang terdahulu.
Demikian berbagai pengertian yang diungkapkan para
ulama, baik ulama ulumul qur’an ataupun ulama ahli ushul tentang nasakh.
Dan dari berbagai pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa nasakh adalah
mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ yang terlebih dahulu datang dengan
dalil hukum syara’ lain yang datang kemudian. Nasakh merupakan istilah untuk
dua hal, yaitu nasikh dan mansukh seperti
dalam tata Bahasa Arab istilah idhofah untuk dua hal,
yaitu mudhof dan mudhofun ilaih. Nasikh adalah
dalil atau hukum yang menghapus dalil atau hukum lain. Sedangkan mansukh adalah
dalil atau hukum yang dihapus atau diangkat.
Adanya nasakh sebagaimana yang
disepakati oleh jumhur ulama, itu berdasarkan firman Allah, yaitu:
. مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ
أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ
اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? {al
Baqarah (2):106}.
Di dalam tafsir al Misbah,
dijelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, yang berbicara
tentang orang orang Yahudi. Demikian erat hubungan maknanya, sampai sampai
awalnya tidak dibubuhi huruf waw (dan) seperti yang biasa
menghiasi ayat ayat lain saat berpindah dari suatu persoalan ke persoalan lain.
Seperti terbaca pada ayat ayat yang
lalu, banyak orang Yahudi yang enggan menerima ayat suci Alquran serta
berkeberatan terhadap Allah yang menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. Karena
itu, mereka selalu berusaha mencari celah untuk membuktikan kelemahan Alquran.
Mereka berdalih bahwa Allah tidak mungkin mengubah ketetapan ketetapan Nya.
Pengubahan menjadikan syariat agama mereka tidak berlaku lagi bila mereka
mengakui agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. pengubahan juga dapat
berarti bahwa Tuhan tadinya tidak tahu, dan bila mengubahnya pastilah ada
sesuatu yang baru Tuhan ketahui.
Allah membantah mereka dengan
menyatakan: “Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, baik dengan
membatalkan hukumnya atau pun mengalihkannya, atau Kami menagguhkanhukum
pelaksanaan nya kecuali Kami datang yang lebih baik
darinya atau sebanding dengannya seperi pembatalan kehalalan
pengucapan “raa’ina” terhadap Nabi Muhammad saw. dengan kata “unzhurna”. Tiadakah
engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?
Tiadakah engkau, wahai pendengar ayat ini, mengetahui bahwa
kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah sehingga Dia dapat
melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksaan Nya? Dan tidak
pulakah engkau mengetahui bahwa tiada bagimu selain Allah satu
pelindung maupun satu penolong”.
Kata (نسخ) naskh mempunyai banyak arti, antara lain
membatalkan, mengganti, mengubah, menyalin, dan lain sebagainya. Dari segi
hubungan antar ayat, kita dapat mengatakan bahwa larangan mengucapkan raa’ina dan
mengganti dengan unzhurna, seperti tuntunan ayat yang lalu,
merupakan salah satu bentuk penggantian dan pembatalan, paling tidak, dari
tinjauan kebahasaan. Karena itu, wajar jika ayat ini berbicara tentang
penggantian dan pembatalan itu.
Ayat ini ditutup dengan satu pernyataan yang
redaksinya terbaca seakan akan ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., tetapi pada
hakekatnya ditujukan kepada orang Yahudi dan siapa punn yang merasa keberatan
dengan kebijaksanaan Allah itu, Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah
kuasa atas segala sesuatu?.
Redaksi semacam ini mengandung
kecaman yang lebih pedas daripada yang redaksinya ditujukan langsung kepada
yang dimaksud. Kecaman yang sama berlanjut pada ayat berikutnya, yaitu Tidakkah
engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah?Dia
mengatur, mengendalikan, dan melakukan apa saja sesuai dengan hikmah
kebijaksanaan Nya.
Dan tiada bagimu selain
Allah pelindung dan pembimbing dalam kehidupan spiritual dan material
maupun satu penolong yang dapat memberi pertolongan menghadapi
kesulitan apapun.
Selanjutnya, uraian
tentang pengertian naskh ini dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu berikut
ini.
1.
Gambaran tentang
terangkatnya hukum syari’at tidak mungkin terlaksana kecuali dengan dua jalan:
a.
Bahwa dalil syar’i
mempunyai tenggang waktu dengan hukum marfu’.
b.Bahwa antara dua dalil
ini terjadi ta’arudh hakiki sehingga tidak mungkin melakukan kompromi (al-jam’)
antara keduanya.
2.
Defenisi tersebut
memberi pengertian bahwa naskh tidak tertuju kepada hukum. Dengan demikian,
sekalipun ada pembagian naskh tilawah dan hukum hanya sekedar untuk memberi
penjelasan tentang naskh itu. Yang disebut naskh tilawah itu sesungguhnya tidak
keluar naskh hukum karena naskh tilawah itu tidak mempunyai arti hakikat
kecuali menasakhkan hukum juga.
3.
Naskh yang terjadi
mencakup dalam Al-Qur’an dan As Sunnah semuanya yaitu: qauliyah, fi’liyah,
wasfiyah dan tadriyah, karena semuanya bersumber dari wahyu Allah SWT. dengan
demikian, tidak mungkin timbul dari ibtida’ dan naskh kecuali berdasarkan wahyu
Allah SWT. baik yang sharih maupun taqrir.
4.
Bahwa idhafah dalam
raf’ al-hukm asy-syar’i adalah idhafah masdar kepada maf’ul sedang
fa’ilnyatersembunyi, yaitu Allah SWT. dengan demikian, pengertian sesungguhnya dari
nasikh itu adalah Allah SWT.
B.
Pendapat Para Ulama
dengan adanya Nasakh dan Mansukh
Para ulama bersepakat bahwa nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan
nash Al-Qur’an. Begitu juga dengan nash Sunnah boleh dinasakh dengan nash
Sunnah.
Sebagian ulama yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani
berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar sesama ayat al-Qur’an tidaklah
dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an dengan Hadis karena derajat Hadis
bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan al-Qur’an. Padahal, di antara
syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus lebih unggul derajatnya
daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Sedangkan menurut para pendukung nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an,
dilihat dari sisi nasikh-mansukh, surat-surat Al-Qur’an dapat dibedakan kedalam
empat kelompok besar. Pertama, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya
sama sekali tidak ada ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, jumlahnya
43 surat. Kedua, kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya dijumpai
ayat-ayat nasikhah maupun ayat-ayat mansukhah, yang berjumlah 25 surat. Ketiga,
kelompok surat-surat Al-Qur’an yang di dalamnya hanya ada ayat-ayat nasikhah,
sebanyak 6 surat. Keempat, kelompok surat-surat al-Qur’an yang di dalamnya
hanya ada ayat-ayat mansukhah, dengan jumlah ayat sebanyak 40.
Berkenaan dengan jumlah ayat yang mansukhah dalam al-Qur’an, mereka
berselisih pendapat. Ada yang mengatakan sekitar 500 ayat, tetapi ada juga yang
memprakirakan lebih sedikit dari itu. Setelah mencoba mengkompromikan sejumlah
ayat yang dianggap nasikh-mansukh oleh sebagian ulama, Al-Suyuti memprediksi
masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nasikh-mansukh oleh
sebagian ulama, tetapi kemudian Syah Waliyullah al-Dahlawi, mencoba
mempertemukan ayat-ayat yang oleh al-Suyuti di anggap nasikh-mansukh itu hingga
akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap belum bisa dikompromikan yakni surat
al-Baqarah (2): 180 dengan an-Nisa’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan
al-Baqarah (2): 234, al-Anfal (8): 65 dengan al-Anfal (8): 66, al-Ahzab (33):
52 dengan al-Mujadilah (58): 13.
Sehubungan dengan itu maka kelompok ulama penolak nasikh-mansukh
internal Al-Qur’an akan selalu bekerja keras untuk mengompromikan ayat-ayat
yang oleh jumhur ulama dinyatakan sebagai ayat-ayat nasikhah dan mansukhah.
Syaikh Muhammad Al-Khudari misalnya, sungguhpun tidak secara ekspilisit menolak
kemungkinan ada nasikh-mansukh internal Al-Qur’an telah mencoba mengompromikan
20-21 ayat yang oleh Al-Suyuti dianggap sebagai ayat-ayat nasikhah dan
mansukhah. Di antara ulama Indonesia yang secara tegas menolak ada kemungkinan
ada nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an ialah Prof. Dr. T. M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. Menurutnya, tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang di-nasakhk-an
oleh ayat-ayat Al-Qur’an sendiri. Yang ada hanyalah penakwilan atau penakhsisan
atau penaqyidan.
Masing-masing pendapat
di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat pendiriannya, baik itu
berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau
periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial
oleh mereka ialah kedua ayat di bawah ini
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا
نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ
أَنَّاللَّهَعَلَىكُلِّشَيْءٍقَدِير
Artinya: “Apa saja
ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106).
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ
قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: ‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan
kebanyakan mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata
“ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat
al-Qur’an, sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an
menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah
terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal
al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya ayat,
sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi ayat
106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya wahyu kepada Nabi
Muhammad kadang-kadang pada malam hari tapi beliau lupa pada siang harinya.
Maka Allah turunkan ayat 106 surah al-Baqarah tersebut sebagai jaminan bahwa
wahyu Allah tidak akan mungkin terlupakan (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim dari
Ikrimah yang bersumber dari Ibn Abbas).
Adapun ulama yang menerima adanya nasikh dan mansukh:
1. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mengakui adanya naskh dalam Al-Qur’an, berdasarkan
firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah: 106,
ماننسخمنايةاوننسهاناتبخيرمنهااومثلهاالمتعلماناللهعليكلشيءقدير.
“Ayat mana saja
yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan
yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2. Ibnu katsir
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menyatakan bahwa“Sesungguhnya
rasio tidak ada alasan yang menunjukkan tidak adanya naskh (pembatalan) dalam
hukum-hukum Allah, karena Allah mentepkan hukum menurut kehendak Nya dan
melakukan apa saja yang dikehendaki Nya.”
3. Al-Maragi
Al-Maragi dalam kitab tafsirnya melihat adanya hikmah keberadaan
naskh dalam Al-Qur’an dengan menyatakan,“Sesungguhnya hukum-hukum itu tidak
diundangkan kecuali untuk kepentingan manusia. Hal ini dapat berbeda karena
berbeda waktu dan tempat, Jika suatu hukum diundangkan karena dirasakan perlu
adanya hukum itu, kemudian keprluan itu berakhir, maka adalah suatu tindakan
bijaksana menghapuskan hukum itu dan menggantikannya dengan hukum yang lebih
sesuai dengan waktu itu. Dengan demikian hukum menjadi jauh lebih baik dari
yang semula atau sama dari segi manfaat untuk hamba-hamba Allah.”
4. Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Rida dalam tafsirnya menjelaskan:”Sesungguhnya
hukum itu dapat berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan lingkungan, serta
situasi. Apabila suatu hukum diundangkan pada suatu waktu karena kebutuhan pada
hukum itu, kemudian hukum itu tidak dibutuhkan lagi pada waktu lain, maka
adalah suatu tindakan bijaksana membatalkan hukum itu dan menggantikannya
dengan hukum yang lebih sesuai dengan waktu itu.”
5. Sayyid Qutub
Sayid Qutub berpendapat bahwa ayat itu merupakan sanggahan terhadap
pendirian orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan
menolak ajaran Islam dengan alasan bahwa Allah SWT tidak mungkin menghapuskan
hukum-hukum Nya dalam Taurat. Selain itu mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad SAW
tidak konsisten, baik mengenai perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsa ke
Masjidil Haram, maupun perubahan-perubahan petunjuk, hukum, dan perintah yang
akan terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan masyarakat Islam menuriut situasi
dan kondisi mereka yang berkembang yang baru.
6. Manna Khalil
Al-Kattan
Manna Khalil al-Qattan berpendapat bahwa apa yang cocok untuk satu
kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Perjalanan
dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanan
sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri`
pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri` pada periode yang lain.
Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri` dengan tasyri`
yang lain untuk menjaga kepentingan para hambaNya.
Sedangkan tokoh yang menolak adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an:
1. Abu Muslim al-Asfahani
(tokoh mu`tazilah)
2. Imam Ar-Razi
3. Muhammad Abduh
4. Dr. Taufiq Sidqi
5. Muhammad Khudari Bek
6. Muhammad Abduh
Alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat-ayat al-Qur`an yang
sama yang dikemukakan oleh kelompok pendukung naskh, dengan perbedaan
penafsiran. Adapun alasan-alasan mereka adalah sebagai berikut:
1.
Kandungan surat
al-Baqarah ayat 106 yang oleh kelompok pendukung naskh dijadikan sebagai
argumentasi adanya naskh dalam al-Qur`an, menurut mereka ditujukan kepada kaum
Yahudi yang mengingkari al-Qur`an atau merujuk pada wahyu yang diturunkan
sebelum al-Qur`an yang akhirnya digantikan oleh al-Qur`an . Artinya hukum-hukum
yang terdapat dalam kitab kitab suci sebelum al-Qur`an diganti dengan yang
lebih baik , ayitu al-Qur`an. Kandungan surat an-Nahl ayat : 101 dilihat dari
segi turunnya ditujukan kepada orang orang kafir yang tidak mempercayai
kerasulan Muhammad SAW karena hukum hukum yang ada di dalam al-Qur`an berlainan
dengan hukum hukum dalam Taurat dan Injil. Menurut mereka kalau al-Qur`an benar
benar datang dari Allah SWT, maka pasti tidak akan berbeda dari isi kitab kitab
sebelumnya. Untuk itulah Allah SWT menjawab bahwa Dia lebih tahu apa yang
maslahat buat hamba-hambaNya.
2.
Jika dalam
al-Qur`an ada ayat yang dimansukh, berarti didalam al-Qur`an terdapat kesalahan
dan saling berlawanan , padahal al-Qur`an sendiri telah menegaskan:
Artinya ”Yang tidak datang kepadanya (al-Qur`an) kebatilan baik
dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS.Fush-shilat / 41: 42)
3.
Rasulullah
sendiri tidak pernah mengatakan adanya naskh dalam al-Qur`an. Seandainya ada,
sudah tentu ia akan menjelaskannya.
4.
Hadits – hadits
yang dikatakan oleh pendukung naskh dinilai sebagai pe-nasikh ayat al-qur`an,
seperti hadits ”Tidak ada wasiat bagi penerima waris” (HR.Bukhari , Abu Daud ,
Attarmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Darul-Qutni, dan Ahmad Bin Hanbal) bukanlah
hadits mutawatir melainkan hadits ahad yang tidak sederajat dengan al-Qur`an , dan
hadits ahad tidak punya kualifikasi untuk menjadi hujjah dalam menetapkan hukum
sesuatu.
5. Dikalangan pendukung
naskh sendiri tidak ada kesepakatan dalam menentukan jumlah ayat ayat yang
mansukh. Misalnya , menurut an-Nuhas terdapat 100 ayat lebih yang mansukh,
asy-Syuyuti 20 ayat, sedangkan asy-Syaukani berhasil mengkompromikan 8 ayat
dari 20 ayat yang oleh asy-Syuyuti tidak dikompromikan. Ini tidak berarti ada
sebagian ayat yang oleh sebagian ulama dipandang bertentangan dan tidak bisa
dikompromikan, ternyata dapat dikompromikan oleh ulama lain. Karena itu
kelompok penolak adanya naskh membuktikan kemampuan mereka dalam
mengkompromikan ayat ayat yang oleh pendukung naskh dinilai kontradiktif.
Abu Muslim al-Asyfahani, menolak anggapan bahwa ayat yang sepintas
kotradiktif, diselesaikan dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan
proyek takhsissebagai antitesa Nasikh-Mansukh. Menurutnya al-Qur’an adalah
syari’ah yang muhkam, jadi tidak ada yang mansukh.“Tidak datang kepadanya
kebatilan al-Qur’an baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari
sisi Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. al-Fushilat : 42).
Artinya, jika sekiranya didalam al-Qur’an terdapat ketentuan yang telah
di-nasakh, maka sebagian hukum ayat al-Qur’an juga akan dibatalkan. Sementara
syari’at dalam al-Qur’an itu bersifat kekal. Karena ia berlaku sepanjang masa.
Fakhru al-razi dan Muhammad ‘Abduh, juga termasuk yang memandang
bahwa istilah Nasikh-Mansukh tidak terdapat dalam al-Qur’an. Alasan mereka disandarkan
pada ayat al-Qur’an “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab
Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat–Nya”. (QS. al-Kahfi :
27). Hanya kemudian, Muhammad ‘Abduh menggunakan istilah tabdil,penggantian,
pengalihan, atau pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan
nasakh dalam pengertian pembatalan.
Sementara itu, sebagaian Ulama’ berkeyakinan bahwa didalam
al-Qur’an terdapat pembatalan hukum, Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat
“dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya,
padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami angkat
ia, lalu Kami turunkan lainnya”. Sedangkan al-Syuyuti mengartikannya sebagai
“Allah menurunkan perkara dalam al-Qur’an kemudian mengangkatnya”.
Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk
menafikan Nasikh-Mansukh, karena ia menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan
melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya. Hal ini, pula ditegaskan oleh
Quraish Shihab, bahwa Allah tidak me-nasakh dalam arti membatalkan suatu hukum
yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan mendatangkan ayat lain yang
mengandung hukum lain yang lebih baik atau serupa.
Berbeda dengan yang lain, al-Ṭabaṭaba’i mengatakan bahwa pertentangan
antara dua naṣ dalam nāsakh pada dasarnya merupakan pertentangan lahir, bukan
pertentangan yang hakiki (esensi). Alasan al-Ṭabaṭaba’i ini didasarkan pada
al-Qur’an Surat al-Nisa ; 82. Ia menegaskan Nasakhpada dasarnya bukan termasuk
(yang terjadi karena) pertentangan dalam perkataan (qawl), dan ia juga tidak
(terjadi karena) pertentangan (ikhtilaf) dalam pandangan hukum, melainkan
terjadi karena pertentangan dalam muṣadaq(kriteria) dari segi dapat
diterapkannya hukum pada suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan
dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari yang lain karena
bergantinya kemashlahatan dari kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum
yang lain pula”. Oleh karena itu, al-Ṭabaṭaba’i beranggapan bahwa nasakh pada
dasarnya tidak hanya khusus terdapat pada hukum-hukum syari’at, melainkan juga
dapat terjadi terhadap takwiniyyah(persoalan-persoalan kosmo).
Para ulama dalam menanggapi hal tersebut terbagi atas empat
golongan :
1.
Orang Yahudi.
Mareka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurut mereka naskh mengandung
konsep al-bada’, yakni kelihatan setelah tidak tampak (tidak jelas) dan hal ini
mustahil bagi Tuhan.
2.
Orang Si’ah
Rafidah, Mereka terlalu over dalam menetapkan nasakh dan memberikan pemahaman
terlalu luas tanpa ada batasan. Bahan rujukan dari argumentasi mereka adalah
ungkapan yang dinisbahkan kepada ‘Ali r.a secara dusta dan palsu. Mereka juga
berpegang pada firman Allah Q.S al-Ra'd, ayat 39, yakni :
يَمْحُوااللَّهُمَايَشَاءُوَيُثْبِتُوَعِنْدَهُأُمُّالْكِتَاب
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang
Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat ummu al-kitab (lawh mahfuz)
3.
Abu Muslim
al-As fahani, Secara logika beliau menerima nasakh tetapi dalam syara' tidak.
Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’an berdasarkan firman-Nya dalam Q.S Fussilat
ayat 42, yakni:
لَايَأْتِيهِالْبَاطِلُمِنْبَيْنِيَدَيْهِوَلَامِنْخَلْفِهِتَنْزِيلٌمِنْحَكِيمٍحَمِيد
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji.
4.
Jumhur ulama.
Mereka berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah
terjadi dalam hukum-hukum syara’.
Di antara tokoh yang menolak adanya nāsakh adalah ‘Ali bin Husain
bin Muhammad yang dikenal dengan nama Ibnu Farj al-Asfahani yang menegaskan
bahwa al-Qur’an tidak sedikitpun tersentuh oleh pembatalan, jika nasakhitu
diartikan dengan pembatalan maka jelas tidak ada dalam al-Qur’an. Adapun dalil-dalil
yang dijadikan bahan rujukan dalam al-Qur’an diperlukan adanyareinterpretasi,
sebab didalamnya terkandung berbagai konotasi dan dalil-dalil tersebut bisa
saja dita’wil sesuai konteks ayat-ayat sesudah dan sebelumnya.
Sedangkan Muhammad Abduh sedikit berbeda dalam memahami naskh,
yaitu dengan memberikan pemahaman tabdil (penggantian) dan tahwil (mengubah)
serta al-Naql(memindahkan). Hal ini sesuai dengan pengertian naskhsecara
etimologi. Atas dasar inilah al-Asfahanī lebih suka menyebut naskh dengan
istilah takhsis (pengkhususan) meskipun ulama pendukung naskh tidak
menyetujuinya
Berbeda dengan
mayoritas ulama yang telah disebutkan di atas, sebagian ulama lain yang
dipelopori oleh Abu Muslim al-Asfihani berpendirian bahwa nasikh-mansukh antar
sesama ayat al-Qur’an tidaklah dibolehkan. Apalagi pe-nasakh-an al-Qur’an
dengan Hadis karena derajat Hadis bagaimanapun lebih rendah dibandingkan dengan
al-Qur’an. Padahal, di antara syarat nasikh-mansukh ialah bahwa pe-nasakh harus
lebih unggul derajatnya daripada yang di-nasakh atau minimal sederajat.
Menurut al-Wahidi
perihal kalam Allah dalam ayat 106 surah al-Baqarah ini, para ahli tafsir
berpendapat bahwasanya orang-orang musyrik pernah menyindir Nabi Muhammad
seraya mereka berkata dengan sesamanya: “Tidakkah kalian perhatikan bagaimana
Muhammad yang (pada suatu ketika) menyuruh sahabat-sahabatnya supaya melakukan
sesuatu, tetapi kemudian setelah itu dia melarang mereka dari mengerjakannya
dan memerintahkan mereka dengan (pekerjaan lain) yang berbeda. Hari ini
Muhammad bilang begini, sementara besok dia bilang yang lain. Apakah (ragu)
kalau kita katakan bahwa al-Qur’an itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah
ucapan Muhammad yang ia karang-karang dari dirinya sendiri, yakni ucapan yang
saling bertentangan antara sebagian dengan sebagian yang lain”. Kemudian Allah
menurunkan kedua ayat tersebut.
Berlainan dengan
kelompok pertama, kelompok kedua yang mengingkari kemungkinan adanya
nasikh-mansukh sesama ayat al-Qur’an, lebih mengacu kepada korelasi ayat, dalam
kaitan ini hubungan ayat 106 dengan ayat sebelumnya yakni ayat 105. Ayat 105
surat al-Baqarah, pada intinya menyatakan ketidaksenangan atau ketidaksukaan
orang-orang kafir terhadap penurunan al-Qur’an dan pengangkatan Nabi Muhammad.
Padahal, seharusnya orang-orang kafir itu tahu diri bahwa penurunan al-Qur’an
dan pengangkatan Nabi Muhammad itu seperti halnya penurunan kitab-kitab dan
pengangkatan nabi-nabi yang lain adalah hak prerogatif yang tidak perlu
dicampuri, apalagi diintervensi oleh siapapun.
- C. Metode untuk Mengetahui Nasakh dan Mansukh
Pengetahuan tentang nasikh dan
mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutam fuqaha,
mufassir, ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan
kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak perkataan sahabat atau tabi’in yang
mendorong agar mengetahui masalah ini.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh
terdapat beberapa cara:
1. Keterangan
tegas dari Nabi dan sahabat-sahabatnya yang tegas menyatakan bahwa ayat ini
dinasakhkan oleh ayat itu.
2. Menetapkan
kemansukhan sesuatu ayat apabila terdapat pertentangan dengan sesuatu ayat yang
lain yang tidak dapat dipertemukan serta diketahui sejarahnya, agar kita
mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif
sejarah.
3. Kesepakatan
ulama bahwa ayat ini nasikh dan ayat ini mansukh.
4. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif
sejarah
Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad,
pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak
kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua rawi.
D. Rukun dan Syarat
Nasakh
Adapun rukun-rukun dan syarat-syarat nasakh yang di maksud adalah sebagai
berikut:
1.
Adanya mansukh (ayat
yang terhapus) yang terikat atau tidak di batasi dengan waktu
tertentu.sebab,bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan
berakhirnya waktu tersebut.karena itu,maka yang demikian itu tidak dapat
dinamakan nasakh.disamping itu,mansukh (ayat yang di hapus) tidak bersifat
“ajeg” secara nashsi,dan ayat yang di mansukh itu lebih dahulu di turunkan
daripada ayat yang nasikh(menghapus).
Dalam hubungan ini,Abu
Muhammad al-Makki menandaskan ,bahwa khithab yang mengisyaratkan adanya batas
waktu tertentu tidak bisa dikatakan dapat dihapus ,sebagaimana firman Allah:
فاعفواواصفحواحتىياتياللهعلىكلشيءقدير
...maka maafkanlah dan
biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahnya.sesungguhnya Allah maha
kuasa atas segala sesuatu.
Ayat tersebut menurut
al-makki tidaklah mansukh,sebab berlakunya dikaitkan dengan
bataswaktu.sedangkan apa yang dikaitkan dengan batas waktu ada nasakhdi dalamnya.
2.
Adanya mansukh bih(ayat
yang digunakan untuk menghapus),dengan syarat ,datangnya dari syari (Allah)
atau dari rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari
Allah.sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
ijma(konsesus)ataupun qias(anologi).
3.
Adanya nasikh (yang
berhak menghapus),yaitu Allah .kadang-kadang ketentuan hukum yang di hapus itu
berupa al-quran dan kadang-kadang berupa sunnah.
4.
Adanya mansukh
anhu(arah hukum yang dihapusitu ialah orang-orang yang sudah akil-baligh atau
mukallaf),karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang
dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.
Sedang Abd.Azhim al-Zarqani mengemukakan
,bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila:
1. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang,dan tidak dapat
diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2. Ketentuan hukum syara yang berlaku(menghapus) datangnya belakangan dari
pada ketetapan hukum syara yang diangkat atau dihapus.
3. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,
sehingga yang lebih dahulu di turunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang
diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.
Selain syarat-syarat diatas ,terdapat juga syarat-syarat yang lain seperti
:
Dari uraian mengenai pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa dalam menasakh terdapat beberapa syarat sebagai
berikut:
1. Nasakh hanya
terjadi pada dalil-dalil yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Perintah
dan larangan tersebut dapat berupa kalimat perintah dan kalimat perintah yang
tegas dan jelas menunjukan perintah dan larangan dan bisa juga berupa kata atau
kalimat lain. Karena banyak redaksi yang menunjukan makna perintah dan
larangan. Diantara redaksi yang menunjukan perintah adalah sebagai berikut:
a. Perintah
tegas dengan menggunakan kata amara (امر) dan seakar dengannya. Contohnya: إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. {al Nahl
(16): 90}
b. Perintah
dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu dihajibkan atas seseorang dengan
memakai kata kutiba (كتب). Contohnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. {al Baqarah(2): 183}
c. Perintah
dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang
dimaksud adalah perintah. Contohnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. {al Baqarah(2): 228}
d. Perintah
dengan memekai kata kerja secara langsung (fi’il amr). Contohnya:
حَافِظُوا عَلَى
الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah
segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah
(dalam salatmu) dengan khusyuk. {al
Baqarah(2): 238}
e. Perintah
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai lam
amr. Contohnya: ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Kemudian
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). {al
Hajj(22): 29}
f. Perintah
dengan menggunakan kata faradha (فرض). Contohnya:
قَدْ عَلِمْنَا
مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ
لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ
Sesungguhnya
Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri
mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan
bagimu. {al Ahzab(33): 50}
g. Perintah
dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik. Contohnya:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan mereka
bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah
saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang
mengadakan perbaikan. {al Baqarah(2): 220}
h. Perintah
dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Contohnya: مَنْ ذَا
الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا
كَثِيرَةً
Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya
di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. {al Baqarah(2): 245}[8]
Sedangkan
redaksi yang menunjukan larangan adalah sebagai berikut:
a. Larangan
secara tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti
melarang. Contohnya:
وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. {al Nahl(16):
90}
b. Larangan
dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Contohnya:
قُلْ إِنَّمَا
حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun
yang tersembunyi. {al
A’raf(7): 33}
c. Larangan
dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal untuk dilakukan.
Contohnya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa. {al Nisa’(4): 19}
d. Larangan
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf lam yang
menunjukan larangan (لام النهى).
وَلا تَقْرَبُوا
مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan
janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat. {al An’am(6): 152}
e. Larangan
dengan menggunakan kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan.
Contohnya:
وَذَرُوا
ظَاهِرَ الإثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan
tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. {al
An’am(6):120}
f. Larangan
dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan yang pedih. Contohnya: وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. {al Taubah(9):34}
g. Larangan
dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Contohnya:
وَلا
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ
خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ
Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. {ali
Imran(3):180}
h. Larangan
dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Contohnya:
إِنِ انْتَهَوْا
فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang lalim. {al
Baqarah(2): 193}
2. Dalil yang
dinasakh tidak berkaitan dengan akidah dan tauhid, karena ajaran semua agama
samawi mengenai akidah dan tauhid itu sama dan tidak mengalami perubahan sampai
akhir zaman.
3. Dalil yang
menunjukkan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu datang secara terpisah
dan datang terkemudian dari dalil yang dinasakhkan.
4. Hukum yang
mansukh adalah hukum syara’.
5. Dalil
penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang
lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
6. Khitab yang
mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab jika
tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan
yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang
mengisyaratkan waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah,
. فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ
maka
maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintahNya {al
Baqarah (2):109}
adalah muhkam, tidak
mansukh sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan
batas waktu, tidak ada nash di dalamnya.
- E. Macam – Macam Nasakh Dalam Al- Qur’an
Adapun macam-macam nasakh yang terjadi dalam Al-Qur’an ada 3 macam,sebagai berikut:
1. Menasakh bacaan ayat dan hukumnya sekaligus (Naskhut
Tilaawati).yaitu,menghapus kan bacaan ayat dan hukum isinya sekali,sehingga
bacaan ayatnya sudah tidak ada dan bahkan tulisan lafal ayatnya pun sudah tidak
ada pula,dan hukum ajarannya pun telah dihapus dan diganti dengan ketentuan
lain.
2. Menasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya (Naskhul Hukmi Duunat
Tilawaati),yakni tulisan dan bacaan ayatnya masih tetap ada dan masih boleh
dubaca,tetapi isi hukum ajarannya sudah di nasakhkan ,sehingga sudah tidak
boleh diamalkan lagi.
Dengan turunnya ayat 234 surah
sl-baqarah ini,maka ayat 240 al-baqarah yang tulisan dan bacaannya masih tetap
ada itu,hukumn isinya yaitu idah satu tahun bagi wanita yang di cerai mati itu
sudah tidaj berlaku lagi,sudah dihapus dan diganti dengan idah 4 bulan 10 hari.
Dr.Shubhi Ash-Shalih dalam
bukunya Mabahits fi ulumul Qur’anmenganggap aneh ada nasakh macam kedua
ini,Beliau mempertanyakan,apa hikmahnya menghapus hukum sedang bacaannya
tidak? Lalu prof.Manna’ul Qathtan
menjawab,sebagai berikut:
1. Al-Qur’an itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya untuk
diamalkan,juga dibaca karena Al-Qur’an itu firman Allah SWT,sehinggayanh
membaca akan mendapat pahala.
2. Nasakh it pada umumnya untuk memberi keringan.karena itu,tidak dinasakhnya
bacaan ayat itu untuk mengingat kan nikmat Allah yang memperingan hukuman itu.
3. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya(Naskhut Tilaawati Duunal
Hukmi)yaitu:tulisan ayatnya sudah dihapus,sehingga sudah tidak dapat di baca
lagi,tetapi hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan.
Dalam versi lain Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasakh dalam
al-Qur’an terbagi empat macam yaitu:
1. Nasakh sarih, ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya atau berubahnya
suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat shalat, dimana pada awalnya
menghadap ke baital maqdis dan pada akhirnya diubah menghadap ke Ka’bah. (QS.
2:150).
2. Nasakh Dimni (implisit), yaitu jika terdapat dua teks yang saling
bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah
yang sama, dan diketahui bahwa turunnya tidak sekaligus pada waktu tertentu,
maka ayat yang datang kemudian mengganti ayat yang terdahulu. Mislanya QS:
2:234 tentang iddah isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni empat bulan
sepuluh hari, ayat tersebut menaskh QS: 2:240 tentang wasiat suami terhadap
isteri, bahwa ia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.
3. Nasakh Kulli, yaitu penggantian atau pembatalan terhadap teks hukum syara’
yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat
kepada kedua orang tua dan kerabat (QS: 2:180) oleh ayat mawarith (QS:
4:11-14).
4. Nasakh Juz'i, yaitu penggantian atau pembatalan sebagian hukum syara’ yang
umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi
sebagian individu . Contoh hukum delapan puluh kali bagi orang yang menuduh
seorang wanita tanpa adanya saksi.
والذينيرمونالمحصنتثملميأتوابأربعةشهداءفاجلدوهمثمنينولاتقبلوالهمشهادةأبداوأولئكهمالفاسقون.
Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ketentuan ini diganti
dengan ketentuan li'anyaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si
penuduh. Akan tetapi bentuk-bentuk contoh ini kalau ditelaah lebih mendalam
bukanlah nasakh dalam arti yang sebenarnya, namun lebih cenderung terhadap
bentuk takhsis atau taqyid. Sebagaimana bentuknya:
والذينيرمونأزواجهمولميكنلهمشهداءالاانفسهمفشهادةأحدهمأربعشهادتباللهإنهلمنالصدقين.
Dan orang yang menuduh istrinya berzina,
padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya
dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
Sedangkan dilihat dari
segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasakh kepada tiga macam,
yaitu :
1.
Nasakh terhadap hukum
dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, riwayat al-Bukhari
dan Muslim, yaitu hadis ‘A’ishah r.a yang mengatakan :
((كانفيماأنزلعشررضعاتمعلوماتيحرمنفنسخنبخمسمعلومات)).
فتوفيرسولاللهصلىاللهعليهوسلم ((وهنممايقرأمنالقرآن)).
Sebagaimana yang
diturunkan (ayat al-Qur’an) kepadanya adalah sepuluh rada'at (isapan menyusui)
yang diketahui, kemudian di nasakh dengan lima (isapan menyusui) yang
diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk sebagian dari
al-Qur’an yang dibaca.
2.
Nasakh terhadap
hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. semisal ajakan para penyembah
berhala dari kalangan musyrik pada umat Islam untuk saling bergantian dalam
beribadah telah dihapus oleh ketentuan ayat qital. Akan tetapi bunyi teksnya
masih dapat kita temukan dalam surat al-Kafirun:6, sebagaimana berikut :
لكمدينكموليدين
Untukmulah agamamu dan
untukkulah agamaku
3.
Nasakh terhadap
bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku
Adapun dari sisi
otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nas, para ulama membagi nāsakh ke
dalam empat macam yaitu :
a) Nāsakh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Nāsakhseperti ini ulama sepakat akan
kebolehannya.
b) Nāsakh al-Qur’an dengan al-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasakh semacam ini diperbolehkan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashur.
c) Nāsakh al-Sunnah dengan al-Qur’an. Menurut ahli usul, nāsakh semacam ini betul-betul terjadi seperti peralihan kiblat dalam salat dari Bait al-Muqaddas ke Ka'bah.
b) Nāsakh al-Qur’an dengan al-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasakh semacam ini diperbolehkan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawatir atau mashur.
c) Nāsakh al-Sunnah dengan al-Qur’an. Menurut ahli usul, nāsakh semacam ini betul-betul terjadi seperti peralihan kiblat dalam salat dari Bait al-Muqaddas ke Ka'bah.
Nasakh al-Sunnah dengan
al-Sunnah. Bagi al-Qattan pada dasarnya ketentuan nasakh dalam ijma’ dan qiyas
itu tidak ada dan tidak diperkenankan. Fokus pembahasan ini ialah mengenai
Naskh al-Hukm Dun al-Tilawah, yaitu persoalan ada atau tidaknya perubahan hukum
dari satu ayat dengan ayat lain, ketika ayat tersebut terpisah dalam proses
al-Nuzul-nya.
Naṣiruddin Baidan
mengutip pendapatnya Abu Zahra, memberikan syarat bagi nas yang dapat dinasakh
danmansukh yaitu antara lain :
a.
Hukum yang di Mansukh
adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan
manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam
al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa
perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b.
Dalil yang menghapus
hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’ ayat 59: Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
c.
Dalil atau ayat yang di
mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d.
Terdapat kontradiksi
atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa
dikompromikan.
- F. Hikmah dan Faedah Nasakh dan Mansukh
Adanya
nasakh dalam dalil-dalil, baik Alquran maupun hadits tentu memiliki beberapa
hikmah bagi seluruh umat manusia yang memiliki budaya, adat, kebiasaan yang
berbeda di wilayah yang berebeda dan bahkan zaman yang berbeda pula. Di antara
hikmah-hikmah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memelihara
kemaslahatan hamba.
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat kesempuranaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
Adapun manfaat yang
lain yang bisa dipetik yaitu:
a.
Untuk menunjukkan bahwa
syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
b. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa
terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
c. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai
ketingkat yang sempurna.
d. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian
dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Allah, atau
dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
f. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam
beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna
menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha
penyayang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan
berdasarkan pemaparan diatas dapat diberikan kesimpulan yaitu bahwa :
Nasakh secara
etimologi adalah izalat(menghilangkan), tabdil (menukar),
tahwil (mengubah) danal-Naql (memindahkan),
Sedangkan secara terminologi adalah menghapus, mengganti, serta membatalkan
hukum syara dengan dalil hukum yang lain yang lebih kuat.
Sedangkan
metode untuk mengetahui nasakh dan mansukh antara
lain :
a)
keterangan tegas dari nabi,
b) kesepakatan
ulama tentang ayat ini nasakhdan yang lainnya mansukh,
c.) mengetahui
mana yang lebih dahulu turun dalam perspektif historiy.
Dilihat dari
segi ragam nāsakh terbagi
atas sarih,zimni, kulli dan juz’i. Dalam
bentuknya nāskh terbagi tiga, yakni hukum dan bacaan secara
bersamaan, hukumnya saja serta bacaanya saja. Jenis nāskh secara
terperinci, yakni al-Qur’an dengan al-Qur’a>n, al-Qur’an dengan al-sunnah,
al-sunnah dengan al-Qur’an dan al-sunnah dengan al-sunnah.Sedangkan Para ulama
dalam menanggapi permasalan nāskh, ada yg menerima ada yg menolan
dan ada yg memperincinya.
Kemudian
Hikmah dan Faedah Nasakh dan Mansukh antara lain :
1. Memelihara
kemaslahatan hamba.
2. Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada tingkat
kesempuranaan, seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu
sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan
cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah dari pada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.
B. SARAN DAN
KRITIK
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sangat besar manfaatnya bagi bagi para
ahli ilmu, terutama fuqaha, mufassir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang
hukum tidak kacau dan kabur. Oleh sebab itu terdapat banyak atsar (perkataan
sahabat atau tabiin) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Mereka harus
mengetahui keterangan keterangan yang tegas yang pernah disampaikan oleh
Rasulullah dan para sahabanya, harus mengetahui ayat yang posisinya sebagai
nasikh dan mansukh, dan juga harus mengetahui ayat mana yang turun lebih dahulu
dan datang kemudian.
Demikian makalah ini kami buat,apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan
maupun dalam penulisan kami mohon maaf.kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadi kan apa yang kami
buat ini lebih baik dimasa mendatang.Dan kepada para pendengar makalah ini di
harapkan untuk lebih banyak mencari sumber refrensi lainnya terkait judul
makalah kami, karena sesungguhnya isi makalah kami ini masih jauh dari
kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi. Mesir: Al-Halabi,
1946. Vol.1
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Riyad:
Manshurat al-‘As}r al- Hadith, 1973.
Al-Zarqani, Muhammad Abd Azim, Manahil al-‘Irfan fi
‘ulum al-Qur’an. Libanon: Dar al- Kutub al-Qutaybah, tt. Vol.1.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Zain, Muhammad Jamil, Kayfa Nafham al-Qur’an terj.
Salafuddin A.J, Bagaimana Memahami al-Qur’an Pustaka
al-Kauthar.
Anwar, Abu, ‘Ulum al-Qur'an Sebuah Pengantar, Amzah, 2005.
Ash-Shidieqy, Hasbi, Ilm-ilmu Al-Qur’an Media-media Pokok dalam
Menafsirkan al- Qur’an Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an Bandung:
Mizan, 1993.
Baidan, Nashiruddin, Ulum Qur’an Bandung: Pustaka Setia,
2006.
Dr.
Usman, M.Ag. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Drs.
Anwar Rosihon, M.Ag.2000. Ulumul Qur’an.Bandung: Cv Pustaka Setia.
Qothan al-manna 1973,mabahits fi ulum al-Qur’an
Beirut:al-syarikah al-Muttahidah li al-Tauzi
Shalih al-shubhi 1972 Mabahits fi’ulum
al-Qur’an
Beirut Dar Al-ilmu Li-al-malayn
Zarganiy al-Muhammad Abdul Azhim manahil
Al-irfan fi ulum al-Qur’an,t,t.p,.al-habi al-nalab,t.th.
Usman,2009,ulumul qur’an yogyakarta,Teras
Hermawan,Acep,2011,ulumul qur’an,Bandung:Remaja
Rosdokarya
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar